Kampung Hokor terdapat di wilayah selatan Kabupaten Sikka. Berjarak 39 kilometer dari Kota Maumere, ibu kota Kabupaten Sikka, Pulau Flores. Kampung Hokor berbatasan dengan Kampung Sikka dan Pomat. Sedikit berbeda dengan keadaan kampung lain di Sikka, Hokor adalah kampung berbatu, diapit oleh dua buah bukit, Bukit Ilin Lhorat dan Ilin Pigang. Karena itulah Hokor sering mendapat julukan Kampung Watu Apar, kampung berbatu.
Daerah berbukit dan berbatu ini memang semula (dahulu kala) merupakan wilayah 'pengungsian' orang-orang Hokor, yang lari dan mencari keamanan dari perang antar kampung, tetapi selanjutnya dipilih sebagai lokasi menetap (kampung) dengan nama Hokor. Nama kampung ini (Hokor), bila diperhatikan secara harfiah, tidak akan ditemukan arti dan padanannya dalam bahasa Sikka. Diduga nama ini berasal dari kata bahasa Sikka, yakni "hogor" yang berarti bangun.
Perkiraan lain menyebutkan nama ini berasal dari nama sejenis burung yang bernama "Hokok", yang pada awal kedatangan awal orang Hokor ke tempat itu, burung itu ditemukan dan ditangkap tepat di tengah-tengah desa itu. Nenek moyang orang Hokor sebelumnya mendiami daerah yang sekarang didiami orang-orang Sikka, Kampung Sikka.
BEBING |
Alkisah bahwa karena ulah Mong Baga Giluk bersama orang-orang setempatnya (mereka yang mendiami Kampung Sikka sekarang) yang menggulingkan tempayan berisi kotoran manusia, orang-orang Hokor terpaksa melarikan diri dan berdiam di daerah yang sekarang dikenal dengan nama Hokor. Meskipun sudah berada di tempat (Hokor) yang dianggap aman dari haluan musuh, orang-orang Hokor tak pernah luput dari gangguan luar seperti pencurian hasil panen ataupun serangan musuh. Orang-orang Hokor, karena itu, tidak bisa tinggal diam tetapi harus berperang melawan musuh. Orang-orang Hokor yakin bahwa perang melawan musuh tidak lepas dari restu dan keterlibatan para leluhur. Oleh karena itu, sebelum berperang, ritual adat harus dibuat. Selain sebagai tanda hormat kepada leluhur, ritual adat itu dimaksudkan agar para leluhur dilibatkan dalam peperangan.
Dari informasi, perang yang terjadi dahulu antara Hokor dan kampung-kampung sekitarnya selalu dimenangkan oleh orang-orang Hokor. Dengan perang, keberadaan dan indentitas sebagai satu kampung tetap eksis. Syair berikut menjadi semboyan dan kahe orang-orang Hokor ketika berperang sekaligus menunjukkan bahwa orang-orang Hokor berkampung batu dan selalu menang dalam perang. "Hokor Watu Apar, guman gogo leron tolor, tubu nane rebu, kota nane korak, ponun puan helang ilin, ga ata maten gateng ata moret." (Hokor kampung berbatu, malam runtuh siang terguling, berpagar besi, bertatakan tempurung, asal mula jin dari gunung, melahap yang mati, menantang yang hidup).
Pada kenyataan nya sudah lama Hokor sudah tidak terancam lagi oleh gangguan luar, namun kisah tentang perang dan kemenangan orang-orang Hokor ketika melawan musuh luar tidak pernah terlupakan. Selain dikisahkan turun temurun, perang dan kemenangan pun dibentukkan secara artistik menjadi tarian perang khas orang-orang Hokor yang dikenal dengan nama Tarian Bebing. Ada banyak tarian yang dimiliki oleh orang-orang Hokor seperti Ro'a Mu'u (tarian potong pisang pada saat pernikahan), Tarian Sandang, Togo Pare (tandak untuk luruh padi). Sedangkan yang mengisahkan tentang perang antara orang Hokor dan kampung lain adalah Tarian Bebing. Tarian Bebing menjadi simbol heroisme orang Hokor.
Sumber: budaya-indonesia.org