Membaca liputan SEA Games di Jawa Pos membuat saya tersenyum sendiri. Bukan soal olahraga, melainkan budaya makan sirih warga Myanmar. Orang Myanmar tidak suka merokok, tapi sangat doyan makan sirih.
Wow, kok budaya Myanmar mirip NTT (Nusa Tenggara Timur), daerah saya? Hari gini, di kota pula, masyarakat Myanmar masih makan sirih + pinang + kapur lalu membuang ludah yang sudah berwarna merah di mana-mana. Kok kayak orang di kampung saya zaman dulu?
Sirih + pinang itu selain budaya, juga ada unsur kecanduannya. Macam orang kecanduan rokok. Macam orang Yaman kecanduan ghat. Tapi tentu saja unsur adiksinya jauh lebih ringan ketimbang narkoba.
Nenek-nenek di NTT tidak akan bisa kerja, uring-uringan melulu, kalau tidak makan sirih pinang. Maka, jangan kaget ketika Anda berada di Kupang dan melihat begitu banyak orang menjual sirih + pinang di mana-mana.
Jangan kaget ketika berada di Pelabuhan Tenau dan Anda melihat begitu banyak orang (laki + perempuan) menunggu kapal laut sambil makan sirih. Bibir mereka begitu merahnya. Jangankan orang Jawa, saya yang asli NTT pun terkejut melihat laki-laki makan sirih pinang.
Bukan apa-apa. Di Flores Timur atau budaya Lamaholot hanya wanita saja yang makan sirih pinang. Laki-laki memang ada tapi kurang dari 5 persen. Kaum wanita pun sudah lama meninggalkan budaya makan sirih seiring kemajuan pendidikan dan kondisi rumah yang lebih baik.
Budaya makan sirih pinang hanya cocok untuk rumah-rumah etnis Lamaholot tempo doeloe yang berlantai tanah. Rumah sangat sangat sangat sederhana yang disebut ORING. Karena lantainya tanah, air ludah merah itu bisa langsung dibuang ke tanah itu.
Pada 1980an rumah-rumah jenis oring ini makin sedikit. Bekat kucuran ringgit dari keluarga yang merantau di Malaysia, khususnya Sabah di Malaysia Timur. Lantai mulai pakai semen cor-coran, kemudian tegel atau keramik. Ibu-ibu pun dipaksa untuk tidak membuang ludah merah ke lantai semen atau tegel.
Nah, para wanita yang sudah kecanduan makan sirih pinang biasanya masih melanjutkan kebiasaannya dengan duduk di halaman. Atau gubuk sederhana, semacam dapur kecil, yang terpisah dari rumah. Itu pun hanya orang-orang lama.
Sesuai pengamatan saya, wanita-wanita yang lahir di atas tahun 1975 di Flores Timur dan Lembata tak lagi doyan sirih pinang. Tapi sesekali masih makan juga di acara-acara adat. Sebab, tradisi Lamaholot tak bisa lepas dari sirih pinang.
Jika ada bupati atau uskup atau imam baru (pastor yang baru ditahbiskan) berkunjung ke desa, maka dia disambut dengan upacara adat. Si tamu agung itu pertama kali disuguhi WUA MALU atau sirih pinang di perbatasan desa. Sang tamu mencicipi sedikit, makan, bibirnya kemerahan. Lalu diarak secara meriah masuk ke kampung.
Ungkapan WUA MALU dan GOLO BAKO sangat populer dalam budaya Lamaholot.
Wua : pinang, malu : sirih, golo : melinting, bako : tembakau.
Wua : pinang, malu : sirih, golo : melinting, bako : tembakau.
Ketika ada wanita lewat di depan rumah, kita mengajak dia untuk mencicipi wua malu.
"Ina, mo pai gon wua malu ki!" Artinya, Ibu, mampir makan sirih dulu!
Kalau laki-laki yang melintas, Ama, mo pai golo bako ki! Bapak, mampir dulu untuk melinting tembakau (merokok).
Yah, ungkapan ini menunjukkan dengan jelas betapa budaya makan sirih sudah sangat menyatu dalam adat Lamaholot dan NTT umumnya. Tapi rupanya ada pergeseran yang signifikan karena budaya makan sirih sering dianggap primitif. Juga nggilani kata orang Jawa!
Yang menarik, justru di ibukota NTT, Kupang, budaya makan sirih ini malah tidak hilang. Pria dan wanita sama-sama makan sirih. Begitu juga anak-anak muda 20an tahun pun saya lihat asyik melestarikan kebudayaan lama yang ternyata kuat pula di Myanmar.