Bahasa dan budaya masyarakat Pulau Sabu NTT

Ada 4 dialek yang digunakan oleh  masyarakat di pulau sabu, yakni Raijua, Mehara, Dimu, dan Ha’ba. Sekalipun ada perbedaan dialek, tetapi dalam komunikasi, orang-orang Sabu saling mengerti satu sama lain.

Budaya Sabu tidak terlepas dari bahasa yang mereka miliki, karena bahasa Sabu sendiri merupakan identitas budaya yang sangat melekat pada orang Sabu itu sendiri. Dari dialek yang digunakan seseorang, orang Sabu dapat mengetahui dari udu mana orang tersebut berasal.


Budaya Sabu sangat menjunjung tinggi nilai kekeluargaan dan kebersamaan. Ini dapat terlihat dari bahasa yang mereka gunakan. Misalnya sebutan “Ama” kepada kaum lelaki dan “Ina” kepada kaum perempuan. Dalam Bahasa Indonesia, “Ama dan Ina” berarti “papa dan mama”, tetapi dipakai untuk memanggil siapa saja tidak peduli orang tua atau orang muda, kaya atau miskin.

Bahasa Sabu juga memiliki keistimewaan tersendiri, seperti adanya perbedaan antara bahasa Sabu yang digunakan sehari-hari dan yang digunakan pada aktivitas budaya tertentu seperti pada acara kematian, pernikahan, event-event adat, dan sebagainya. Beberapa contoh sebagai berikut:

a.      Li pana

Li pana merupakan mantra berbahasa Sabu yang sangat dipercaya memiliki kekuatan magis. Bahasa dalam Li pana tidak bisa diungkapkan secara lisan. Orang cukup berbicara dalam hati. Li pana biasanya diturunkan secara rahasia dan dalam bentuk tulisan. Bahasa Li pana tidak digunakan dalam komunikasi sehari-hari.

b.      Tangi pali

Tangi pali merupakan bahasa ratapan yang diungkapkan pada acara kematian. Tangi pali dilakukan oleh satu orang tertentu. Ratapan tersebut biasanya berisi  silsilah keturunan dari si mati. Itulah mengapa banyak orang Sabu mengenal keluarga mereka pada saat menghadiri acara kematian. Tangi pali tidak boleh diungkapkan secara sembarangan, karena dapat menimbulkan petaka bagi pelaksana tangi pali.

c.       Pe’jo

Pe’jo merupakan nyanyian sahut-sahutan berupa pantun yang biasanya berisi petuah, ungkapan kegembiraan, cinta, dan sebagainya. Pe’jo hanya digunakan pada acara Pado’a, yaitu tarian masyarakat Sabu yang paling menonjol.Tarian ini dilakukan oleh sejumlah pria dan wanita secara bersama-sama bergandengan tangan di lapangan luas pada saat purnama penuh dengan melingkari seorang mone pe’jo yang memimpin pado’a. Mone Pe’jo bersama dengan para penari akan mendendangkan lagu secara bersahut-sahutan. salah satu pe’jo yang masih digunakan sekarang ini adalah:
ai ‘dulu dari lokoli ba taga ri hu ‘dula ‘dulale le le le le mai we di ma hela’u la’ula rai manynyi nga natta, haro iyemaji ta ‘jau rai hawuli ta ‘bole ballo rai due nga donahu


Pe’jo di atas didendangkan oleh mone pe’jo yang akan disambut oleh para penari dengan:wue mita hare‘bingu pa ru’jarakako! kako!
d.      Li lo’do

Ini merupakan nyanyian bahasa Sabu yang didendangkan oleh orang Sabu pada saat memetik kelapa, memeras nira, menggembalakan domba, musim tanam, dan sebagainya.

e.      Li ‘jawi

Li ‘jawi merupakan dongeng berbahasa Sabu. Biasanya dilakukan oleh para orang tua pada anak-anak mereka, atau oleh satu tokoh adat pada saat bulan purnama setelah kegiatan pado’a.

f.        Pera’a Li Petaka Langu

Ini merupakan nasehat atau petuah-petuah adat yang disampaian pada saat kenoto (pernikahan adat sabu), kematian (do made), musim tanam, dan musim panen.

Keenam budaya bahasa di atas adalah seni budaya masyarakat Sabu yang sudah diturunkan dari generasi ke generasi. Warisan budaya bahasa ini harus dilestarikan karena beberapa diantaranya terancam punah, seperti Li pana, Tangi pali, dan Li ‘jawi.