Sekarang kita akan melihat Sejarah dan kebudayaan Suku Flores – Nusa Tenggara Timur (NTT). Kata Flores berasal dari bahasa Portugis yang berarti "bunga". Pulau Flores berada di Provinsi Nusa Tenggara Timur, Indonesia dan termasuk dalam gugusan Kepulauan Sunda Kecil bersama Bali dan NTB, dengan luas wilayah sekitar 14.300 km².
Suku yang berada di kepulauan Flores merupakan percampuran antara etnis melayu, Melanesia, dan portugis. Flores identik dengan kebudayaan Portugis karena pernah menjadi koloni portugis. Hal ini membuat kebudayaan portugis sangat terasa dalam kebudayaan flores baik melalui Genetik, Agama, dan Budaya.
Nama flores itu sendiri berasal dari bahasa portugis yaitu “cabo de flores “ yang berarti “tanjung bunga”. Nama itu semula di berikan oleh S.M. Cabot untuk menyambut wilayah timur dari pulau flores. Namun pada akhirnya di pakai secara resmi sejak tahun 1636 oleh gubernur jenderal hindia belanda Hendrik Braouwer. Sebuah studi yang cukup mendalam oleh Orinbao (1969) mengungkapkan bahwa nama asli sebenarnya pulau flores adalah nusa nipa (pulau ular) yang dari sudut antropologi, istilah ini lebih bermanfaat karena mengandung berbagai makna filosofis, cultural, dan ritual masyarakat flores.
Penelitian mengungkapkan bahwa, ada sedikitnya delapan sub-suku-bangsa yang memiliki logat-logat dan bahasa yang berbeda-beda. Delapan suku yang terdapat di Pulau Flores antara lain :
1. Orang Manggarai
2. Orang Riung
3. Orang Ngada
4. Orang Nage-Keo
5. Orang Ende
6. Orang Lio
7. Orang Sikka
8. Orang Larantuka
Perbedaan kebudayaan antara sub-suku-bangsa Riung, Ngada, Nage-Keo, Ende, Lio dan Sikka tidaklah amat besar. Tetapi, Perbedaan antara kelompok sub-suku-bangsa tersebut dengan orang Manggarai termasuk besar. Seperti halnya dari segi bentuk fisik, ada satu perbedaan yang mencolok. Penduduk Flores mulai dari orang-orang Riung makin ke Timur menunjukkan lebih banyak cirri-ciri Melanesia, seperti penduduk Papua, sedangkan orang Manggarai lebih banyak menunjukkan ciri-ciri Mongoloid-Melayu.
Adapun sub-suku-bangsa Larantuka berbeda dari yang lain. Hal ini dikarenakan mereka lebih tercampur dengan mendapat pengaruh unsur-unsur kebudayaan dari lain-lain suku-bangsa Indonesia yang dating dan bercampur di kota Larantuka.
Adapun sub-suku-bangsa Larantuka berbeda dari yang lain. Hal ini dikarenakan mereka lebih tercampur dengan mendapat pengaruh unsur-unsur kebudayaan dari lain-lain suku-bangsa Indonesia yang dating dan bercampur di kota Larantuka.
Sistem Kepercayaan
Masyrakat Flores sudah menganut beberapa ajaran agama modern, seperti Islam, Kristen dan lain sebagainya. Namun masih terdapat tradisi unsur pemujaan terhadap leluhur. Salah satunya adalah tradisi megalitik di beberapa sub etnis Flores. Misalnya, tradisi mendirikan dan memelihara bangunan-bangunan pemujaan bagi arwah leluhur sebagai wujud penghormatan (kultus) terhadap para leluhur dan arwahnya berawal sejak sekitar 2500 - 3000 tahun lalu dan sebagian diantaranya masih berlangsung sampai sekarang.
Dampak pendirian monumen-monumen tradisi megalitik itu begitu luas mencakup aspek simbolisme, pandangan terhadap kosmos (jagat raya), asal mula kejadian manusia, binatang dan sebagainya. Upacara doa dan mantra, serta berbagai media untuk mengekspresikan simbol-simbol secara fisik dalam kebersamaan. Tradisi megalitik yang berkembang di Pulau Flores awal pemunculannya, tampak pada sisa-sisa peninggalan seperti rancang rumah adat dan monumen-monumen pemujaan terhadap arwah leluhur, termasuk seni ragam hiasnya.
Selain itu, tampak juga pada upacara pemujaan termasuk prosesi doa mantra, pakaian, pelaku seni, seni suara dan tari serta perlengkapan-perlengkapan upacara (ubarampe) dan sebagainya.Tradisi megalitik pun tampak pada tata ruang, fungsi, konstruksi sertastruktur bangunan. Tak ketinggalan pada upacara siklus hidup mulai dari lahir, inisiasi, perkawinan dan pola menetap setelah perkawinan dan kematian, penguburan serta perkabungan. Sudah tentu juga berkaitan dengan upacara untuk mencari mata pencarian, seperti pembukaan lahan, penebaran benih, panen, berburuan, pengolahanlogam dan sebagainya, serta pembuatan benda-bendagerabah, tenun dan senjata.
Kesenian
Tari yang berasal dari Flores salah satunya adalah tari Caci adalah tari perang sekaligus permainan rakyat antara sepasang penari laki-laki yang bertarung dengan cambuk dan perisai di Flores, Nusa Tenggara Timur, Indonesia. Caci merupakan tarian atraksi dari bumi Congkasae Manggarai. Hampir semua daerah di wilayah ini mengenal tarian ini. Kebanggaan masyarakat Manggarai ini sering dibawakan pada acara-acara khusus. Tarian Caci Caci berasal dari kata ca dan ci. Ca berarti satu dan ci berarti uji. Jadi, caci bermakna ujian satu lawan satu untuk membuktikan siapa yang benar dan salah dan merupakan ritual Penti Manggarai.
Mata Pencaharian
Salah satu mata pencaharian suku Flores adalah berladang. Mereka menggunakan sistem gotong royong dalam hal membuka ladang di dalam hutan. Aktivitas itu sendiri dari memotong dan membersihkan belukar bawah, menebang pohon-pohon dan membakar daun-daunan, batang-batang dan cabang-cabang yang telah di potong dan di tebang. Kemudian bagian hutan yang di buka dengan cara tersebut dibagi antara berbagai keluarga luas, yang telah bersama-sama membuka hutan tadi. Dari atas sekelompok ladang-ladang serupa itu akan tampak seperti suatu jaringan sarang laba-laba. Tanaman pokok yang di tanam di ladang-ladang adalah jagung dan padi.
Beternak juga merupakan salah satu mata pencaharian suku Flores. Hewan piaraan yang terpenting adalah kerbau. Binatang ini tidak dipiara untuk tujuan-tujuan ekonomis tetapi untuk membayar mas kawin, untuk upacara-upacara adat, dan untuk menjadi lambang kekayaan serta gengsi. Selain itu kuda juga merupakan hewan piaraan yang penting, yang dipakai sebagai binatang tenaga memuat barang atau menghela. Di samping itu kuda juga sering dipakai sebagai harta mas kawin. Kerbau dan juga sapi dimasukkan ke dalam kandang umum dari desa dan digembala di padang-padang rumput yang juga merupakan milik umum dari desa. Pemeliharaan babi, kambing, domba atau ayam dilakukan di pekarangan rumah atau dikolong rumah seperti halnya di daerah Manggarai.
Sistem Masyrakat
Di dalam masyarakat flores kuno ada suatu sistem statifikasi, yang terdiri dari tiga lapisan. Dasar pelapisan itu adalah klan-klan yang dianggap mempunyai sifat keaslian satau bersifat senioritet. Yaitu diantaranya :
- Lapisan orang kraeng
- Lapisan orang ata lehe
- Lapisan orang budak
Pada orang Ngada misalnya terdapat tiga lapisan juga seperti :
- Lapisan orang gae meze
- Lapisan orang gae kiss
- Lapisan orang azi ana
Bahasa
Diperkirakan terdapat tujuh kelompok bahasa, yaitu kelompok bahasa-bahasa Flores Barat, Flores Timur, Sumba, Timor Barat, Timor Timur, Pantara, dan Alor. Dalam pada itu, berdasarkan hasil penghimpunan berkas isoglos dan perhitungan dialektometri di NTT, diperkirakan terdapat lima kelompok bahasa, yaitu kelompok bahasa-bahasa Flores-Sumba, Timor Barat, Timor timur, Pantar, dan Alor. Interpretasi yang dapat ditarik dari perbedaan hasil pengelompokan bahasa antara historis komparatif dan dialektologi kemungkinan besar karena sifat dasar dari pendekatannya. Linguistik historis komparatif cenderung mengarah pada diakronis, sedangkan dialektologi cenderung mengarah pada kondisi bahasa secara sinkronis.
Berdasarkan hasil perhitungan leksikostatistik juga kita dapat membagi beberapa unsur bahasa daerah di Flores yang didasarkan pada perbedaan tiap-tiap suku. Masing-masing suku ini memiliki berbagai macam bahasa dan cara-cara pelafalannya. Secara umum bahasa tersebut berasal dari bahasa Melayu yang turut berkembang menyesuaikan daerah-daerah yang dihuni oleh suku-suku tersebut.